Beikut ini adalah koleksi foto diagram, narsis ya? ya iya lah.. hari gini gak narsis gak bakalan laku... hehehehe
Share
0
Teknik Arpeggio Pada Gitar
Kali ini saya mau bagi info sedikit tentang Arpeggio, yang di kalangan gitaris tentu sudah sangat familiar, tapi bagi pemula mungkin ini adalah hal yang baru, termasuk saya adalah pemula, hehehe. Ok kita langsung saja..
Arpeggio adalah teknik pemecahan kunci, ini artinya adalah unsure kunci (chord tones) dimainkan secara bergantian atawa satu persatu. Arpeggio dapat juga dimainkan pada tangga nada diatonic untuk kunci yang statis. Seperti contoh berikut:
Menggunakan semua arpeggio kunci pada tangga nada C Mayor (CM7 – Dm7 – Em7 – FM7 – G7 – Am7 – Bm7-5) untuk kunci Dm7. Agar pergerakan nada (Arpeggio) tidak terkesan monoton, maka dapat digunakan diatonic arpeggio dengan 4 atau 5 putaran untuk satu kunci. Sebagai contoh diatonic arpeggio tangga nada C Mayor dimainkan dalam putaran 4 dan 5 untuk kunci Dm7, jadi hasilnya akan seperti ini: susunan arpeggionya (CM7-G7-Dm7-Am7-Em7-Bm7-5-Em7-Am7-Dm7) untuk 4 arpeggio pertama menggunakan putaran 5 dan 4, arpeggio berikutnya menggunakan putaran 5. Jadi tidak akan terkesan monoton.
Share
2
Rakyat Miskin Melawan Sistem Ekonomi Neoliberalisme
Indonesia memasuki 11 tahun era neoliberalisme, sistem ekonomi dan politik yang sering dipersamakan dengan drakula pengisap darah manusia. Neoliberalisme sudah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1980-an, tetapi baru menjadi masif setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998. Ibarat drakula dalam film-film horor Amerika, neoliberalisme mengisap tidak hanya darah manusia, tetapi juga segala sesuatu yang bernilai dan dapat dijual sebagai komoditas. Sistem ini memang tidak terlihat wujudnya secara fisik, karena bekerja dalam sistem ekonomi, politik, dan pemikiran filsafat. Meskipun demikian, kita bisa melihat dampak-dampak yang ditimbulkannya.
Sekilas Neoliberalisme
Apa itu neoliberalisme? Menurut Alvaro Garcia Linera, aktivis yang kini menjadi Wakil Presiden Bolivia, ada empat pilar utama neoliberalisme, yaitu (1) fragmentasi sosial masyarakat/gerakan pekerja; (2) privatisasi aset publik, kolektif, atau komunitas; (3) pelemahan negara sebagai penyedia kesejahteraan; dan (4) pembatasan terhadap demokrasi dan partisipasi rakyat.
Di Indonesia, fragmentasi sosial terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan, menempatkan rakyat benar-benar terindividualisasi dan terpisah satu sama lain. Tidak ada lagi budaya kolektif, saling berbagi dan membantu dengan tetangga, gotong-royong, dan sebagainya. Akibatnya, kita menanggung beban hidup (ekonomi, sosial, dan lain-lain) sendirian, karena orang tidak lagi peduli terhadap penderitaan orang di sekelilingnya.Kedua, kebijakan privatisasi aset-aset publik, kolektif atau komunitas, yaitu pengambilalihan aset atau sumber daya milik rakyat oleh pihak swasta. Sebelum privatisasi diberlakukan, aset-aset dan sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti air, hutan, pendidikan, dan kesehatan, dikuasai oleh negara dan dikelola untuk kemakmuran rakyat. Karena dikelola oleh negara dan diperuntukkan rakyat, maka biaya pun sangat murah dan terjangkau. Misalnya, dulu biaya sekolah negeri lebih murah daripada sekolah swasta, rumah sakit umum lebih murah daripada rumah sakit swasta, dan air bersih lebih murah di PDAM ketimbang produk aqua dan sejenisnya.Sekarang semuanya itu sudah dikontrol dan dikuasai pihak swasta, dari pendidikan, kesehatan, pelayanan air bersih, dan sebagainya. Dan pada awal tahun 2010, pelayanan listrik pun akan diserahkan kepada pihak swasta. Akibat kebijakan ini adalah mahalnya biaya-biaya atau ongkos pelayanan publik.Ketiga, pelemahan negara sebagai penyedia kesejahteraan. Menurut penganut neoliberal, negara tidak boleh lagi campur tangan dalam persoalan ekonomi dan sosial, namun diserahkan kepada pihak swasta dan mekanisme pasar (baca: persaingan dan kompetisi). Akibatnya peran-peran negara yang baik untuk mengurusi dan menjamin kesejahteraan sosial, seperti subsidi, jaminan sosial, jaminan pekerjaan, dan penghidupan yang layak dihilangkan juga.Keempat, neoliberal juga sangat membatasi demokrasi dan partisipasi rakyat. Rakyat tidak boleh terlibat sama sekali dalam pengambilan keputusan. Semuanya diserahkan kepada pemerintah dan segelintir teknokrat (ahli dari universitas). Rakyat hanya boleh berpartisipasi dalam pemilu setiap lima tahun sekali. Setelah itu, semua pekerjaan pengambil keputusan diserahkan kepada pemerintah dan ahlinya. Akibatnya, banyak kebijakan politik yang sangat merugikan rakyat.
Kemiskinan Ekstrem
Kata ekstrem mengacu pada pengertian berlebih atau sangat parah. Artinya, kemiskinan ekstrem adalah tingkat kemiskinan yang sudah sangat parah dan kronis, atau biasa disebut kemiskinan absolut struktural, yaitu tidak terpenuhinya kebutuhan standar hidup minimum komunitas masyarakat. Pengertian kemiskinan mengacu kepada kondisi ketiadaan sarana atau material untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia, seperti makanan yang bernutrisi, pakaian, tempat bernaung (rumah), perawatan kesehatan, dan pendidikan.Di Indonesia, tingkat kemiskinan ekstrem sebetulnya sudah cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Meskipun tidak terdokumentasi dari data resmi, sebenarnya dapat dilihat secara kasatmata, seperti banyaknya tuna wisma, pengemis, dan gelandangan.
Berbicara soal kemiskinan di Indonesia, ada baiknya kita melirik tiga hal berikut. Pertama, kejatuhan daya beli yang begitu masif, khususnya bagi kalangan kelas menengah dan bawah. Hampir seluruh konsumsi rakyat Indonesia saat ini dibiayai melalui utang, mulai dari kredit konsumsi, program sosial neoliberal (BLT, KUR, BOS, PNPM, dan sebagainya) yang dibiayai dengan utang, program stimulus ekonomi yang juga dibiayai utang, hingga kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri yang juga dibiayai dengan utang.Kedua, munculnya kesenjangan pendapatan yang mencolok. Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Mudrajat Kuncoro, menyebutkan 40% penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin belum pernah menikmati kue hasil pembangunan ekonomi. Ada individu yang sangat kaya, sehingga 150 orang terkaya sekarang ini menguasai Rp 650 triliun rupiah, tetapi ada 40 juta lebih orang miskin, yang harus cukup dengan Rp 6 ribu per hari.Ketiga, lumpeng-isasi massa rakyat (penciptaan barisan penganggur), di mana sebagian besar masyarakat terdepak keluar dari pekerjaan tetap dalam sektor industri. Gejala ini ditandai oleh meningkatnya jumlah pengangguran dan perkembangan signifikan sektor informal. Sekarang ini, seperti yang diungkapkan OPSI, sektor informal sudah mencakup sekitar 70% dari angkatan kerja produktif. Terakhir, perlu ditegaskan bahwa kemiskinan bukanlah persoalan nasib atau takdir, melainkan berhubungan dengan persoalan struktural kekuasaan, sistem ekonomi, dan kebijakan politik.Kaum Pencari Kerja: Korban Neoliberalisme
Sejak neoliberalisme dipraktikkan, pertumbuhan sektor informal dan pengangguran (baca: pencari kerja) berlangsung cukup pesat. Sebagai ilustrasi, ekonom dari UGM Sri Adiningsih menjelaskan bahwa pada tahun 2007 pekerja di sektor informal mencapai 47,7 juta dari total 49,8 juta pekerja. International Labour Organization (ILO) memperkirakan pengangguran di Indonesia pada tahun 2009 dapat bertambah 170.000 hingga 650.000 orang atau naik sekitar 9%.
Pengangguran tidak hanya masalah politik, tetapi juga menggambarkan krisis inheren dalam sistim kapitalisme. Terkait persoalan politik, angka statistik pengangguran selalu dibuat mengacu pada angka prestisius yang menguntungkan pemerintah, karena jika tidak, situasi ini bisa menstimulus gejolak sosial yang serius. Di Indonesia, BPS mempunyai andil besar dalam memanipulasi angka statistik pengangguran. Jika menggunakan metode penghitungan BPS, seseorang yang bekerja satu jam dalam seminggu dikatakan sebagai pekerja. Jadi, misalnya, Pak Ogah yang dapat bekerja serabutan dalam seminggu juga disebut pekerja. Dengan penghitungan ini, BPS mengklaim angka pengangguran terbuka pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta atau 8,14% dari total angkatan kerja. Angka ini jelas manipulatif, selain karena metode penghitungan yang berbasis satu jam seminggu, juga disebabkan oleh waktu (timing) penghitungan dilakukan bertepatan dengan masa kampanye pemilu legislatif, sehingga dapat dipastikan pada saat itu hampir semua orang memiliki “pekerjaan”.Jadi, seberapa besar gambaran pengangguran yang sebenarnya? Untuk menjawab ini, mari memeriksa pekerja di sektor manufaktur.
Dalam lima tahun terakhir memang terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Akibatnya, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur terus meningkat dan terjadi penurunan jumlah pekerja formal di sektor industri. Inilah proses nyata yang mendorong lonjakan jumlah pengangguran. Jika kita meraba ke pembagian sektor formal dan informal, hanya sektor formal yang boleh dikatakan sebagai pekerja, yang jumlahnya 31% dari angkatan kerja. Penyebab pengangguran di negara kapitalis maju dan negara berkembang juga berbeda.
Di negeri kapitalis maju, penyebab utama unemployment adalah pengurangan jam kerja dan pengurangan jumlah pekerja, akibat mekanisasi dalam sistem produksi. Di negara berkembang, pendorong utama pengangguran adalah proses deindustrialisasi yang dipicu kebangkrutan industri nasional. Di bawah neoliberalisme, dengan istilah fleksibilitas, pasar tenaga kerja akan diatur selentur mungkin untuk menopang proses akumulasi keuntungan. Dan bersamaan dengan itu, tidak ada lagi pekerja tetap atau jaminan terhadap pekerjaan. Sejalan dengan itu, secara historis, menurut Mike Davis, gerakan kaum miskin di perkotaan mencerminkan perkembangan industri manufaktur dan peningkatan upah pekerja. Di sisi lain, terjadi peningkatan produksi dari sektor pertanian akibat penggunaan teknik modern dalam pertanian. Hal itu yang mendorong terjadinya urbanisasi, sebagai konsekuensi dari industrialisasi. Namun, saat ini, menurut Davis, peningkatan urbanisasi dan pengangguran dipicu oleh tekanan IMF dan Bank Dunia yang merestukturisasi ekonomi negara dunia ketiga, sehingga terjadi kehancuran pertanian, PHK besar-besaran, penutupan pabrik, dan kejatuhan upah.
Di Argentina, kelompok sosial yang tersingkir dari proses produksi, yakni kaum pekerja dan kaum tani, menjadi kekuatan sosial paling dinamis dalam menghadapi neoliberalisme. Kelompok-kelompok piqutero, gerakan pekerja yang kehilangan pekerjaannya, menjadi gerakan paling menentukan dalam menghadapi rezim neoliberal melalui aksi-aksi blokade jalanan dan jalan raya. Contoh lain adalah Gerakan Petani Tak Bertanah (MST) di Brasil. Dalam perjuangannya, MST berhasil memimpin kaum tani tak bertanah pada aksi-aksi pendudukan tanah-tanah luas milik para latifundis. Sebuah partai baru di Filipina, Power of the Masses Party (Partido Lakas ng Masa - PLM), juga memfokuskan pembangunan kekuatannya melalui pengorganisasian kaum miskin kota (urban poor). Kontinuitas Program Sogokan (BLT, PNPM, BOS, KUR)
Dalam beberapa tahun ke depan, pemerintahan neoliberal masih akan “mengandalkan” program-program seperti BLT, KUR, PNPM, dan BOS untuk mengangkat popularitasnya. Di samping itu, dalam pemilu legislatif lalu, program-program semacam ini berhasil mendorong orang miskin tetap memilih incumbent. Akan tetapi, perlu mengetahui apa esensi program-program seperti itu, karena selama ini kita hanya memahaminya sebagai program sogokan. Pertama, perlu diketahui bahwa program seperti BLT, BOS, KUR, dan PNPM didanai melalui pinjaman luar negeri, terutama Bank Dunia dan ADB. Program PNPM, misalnya, untuk tahun 2008 saja Bank Dunia menggelontorkan dana US$ 400 juta. Bank Dunia juga mendanai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai US$ 600 juta dan harus dibayar hingga tahun 2033. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. (1). Bantuan sosial seperti itu merupakan cabang baru bagi pengembangbiakan utang luar negeri, setelah memanfaatkan pembangunan infrastuktur. (2). Dalam skema pembayaran utang luar negeri, pendanaan bantuan sosial masuk dalam kategori utang luar negeri yang harus ditutupi. Jadi, penggelontoran dana untuk program seperti ini akan ditutupi dengan pemangkasan anggaran untuk publik di APBN.Program seperti BLT, BOS, KUR, dan PNPM berfungsi untuk mendorong konsumsi kalangan bawah yang nantinya dibayar oleh negara. Sebagai contoh, dana BLT Rp 100 ribu per bulan hanya cukup untuk konsumsi beberapa saat. Karena itu, pemerintahan neoliberal masih berkepentingan melanjutkan program-program seperti BLT, BOS, KUR, dan PNPM.
Merebaknya PenggusuranDalam beberapa bulan terakhir kita juga menyaksikan peningkatan intensitas penggusuran di beberapa kota utama di Indonesia, khususnya Jakarta, Bogor, Surabaya, Semarang, dan Makassar. Secara umum, target penggusuran paling banyak diarahkan pada permukiman warga dan pusat-pusat aktivitas ekonomi rakyat (pasar tradisional, lapak, dan sebagainya). Penggusuran pemukiman yang yang cukup besar adalah penggusuran warga Taman BMW Jakarta yang dihuni sekitar 1.000 keluarga dan penggusuran warga stren Kali Jagir Wonokromo Surabaya yang mencapai 335 keluarga. Penggusuran pusat ekonomi rakyat yang terbesar adalah penggusuran Pasar Koja di Jakarta, Pasar Bambu Kuning di Bandar Lampung, Pasar Barito di Jakarta, dan Pasar Terong di Makassar.Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan besar-besaran proyek infrastruktur seperti jalan raya, tol, dan pelabuhan. Ada korelasi antara peningkatan program proyek yang didanai Bank Dunia dengan peningkatan penggusuran. Seperti diketahui, Bank Dunia mempunyai program “city without slum”, permukiman-permukiman kumuh dihancurkan untuk memberi tempat bagi proyek-proyek mereka.
Hal itu juga terbaca dalam pertemuan ke-42 ADB di Bali, Mei 2010. Dalam dokumen mengenai rencana permukiman yang dirilis pada 14 Mei 2009, diidentifikasi adanya rencana penggusuran sejumlah rumah/permukiman yang dilalui proyek ADB. Dalam dokumen itu, ADB sama sekali tidak menyinggung soal relokasi dan pemberian ganti rugi kepada korban atau rumah tangga yang terkena proyek mereka.Selain itu, penggusuran juga dimotivasi oleh kebutuhan untuk meningkatkan pasar guna menampung output produksi kapitalis. Meskipun sektor informal menguntungkan dalam penyerapan tenaga kerja dan mendorong ekonomi rakyat, “kurang” menguntungkan bagi ekspansi pasar kapitalis. Merajalelanya pasar modern yang didominasi peritel asing seperti Carrefour, Giant, dan Hypermarket, membutuhkan penghancuran pasar-pasar tradisional. Hal seperti ini akan dipermudah dengan kebijakan “otonomi daerah” yang memberikan banyak kewenangan kepada pemerintah kota atau kabupaten.
Perlawanan Rakyat Miskin
Secara umum, perlawanan kaum miskin Indonesia masih mencirikan karakter kurang terorganisasikan dan spontan. Meskipun begitu, perlawanan rakyat miskin di perkotaan memperlihatkan peningkatan intensitas, terutama dalam menanggapi penggusuran, kebijakan pencabutan subsidi BBM, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan masalah kesejahteraan sosial lainnya.Perlu dicatat beberapa perlawanan kaum miskin Indonesia, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Berhadapan dengan penggusuran, pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan di berbagai kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar, dan Medan. Meskipun begitu, perlawanan-perlawanan ini sangat sedikit yang mendapat dukungan dari sektor sosial lainnya seperti pekerja, mahasiswa, dan petani, kecuali penggusuran PKL di Jalan Diponegoro, Jakarta. Di Surabaya dan Tangerang, meski penggusuran telah memakan korban, aksi solidaritas untuk mengutuk kejadian tersebut masih kecil.
Di luar perlawanan PKL, kaum miskin di permukiman kumuh juga memberikan perlawanan habis-habisan, terutama dalam penggusuran warga Taman BMW di Jakarta, penggusuran warga stren Kali Jagir di Surabaya, di Tangerang, Bogor, Bandung, dan beberapa tempat lainnya. Pesan yang tersampaikan dari perlawanan itu adalah negara melepas tanggung jawabnya dan kaum miskin dianggap warga negara tanpa pengakuan.Pada level perjuangan politik, kaum miskin di perkotaan juga merespons dengan cukup baik, di antaranya adalah demonstrasi penolakan kenaikan BBM oleh SRMI yang tergabung dalam Front Rakyat Menggugat (FRM) dan perlawanan kaum miskin kota yang di organisasi UPC untuk menolak kenaikan BBM di depan Istana Negara.
Pada isu politik lainnya, seperti pilkada, kaum miskin menjadi kekuatan sosial yang paling sering termobilisasi, terlepas itu digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Namun, hal itu menjelaskan, kaum miskin mulai ambil bagian dalam perjuangan politik.Dalam merespons Pemilu 2009, organisasi-organisasi rakyat miskin melakukan upaya berbeda-beda. SRMI, misalnya, merespons pemilu melalui kerja sama dengan PBR dengan mengajukan sejumlah kadernya sebagai caleg. Sementara UPC mencoba mengajukan proposal program dan MoU kepada caleg dari partai mana pun, dengan mengikat kesepakatan melalui kontrak politik.
Problem Perlawanan Kaum MiskinKendala terbesar kaum miskin di Indonesia adalah karakter sosialnya yang tercerai berai dan terperangkap pada kompetisi ekonomi yang ganas. Meskipun berkali-kali berhasil mengangkat perlawanan, begitu mudah pula dipatahkan oleh alat-alat kekerasan negara. Meskipun demikian, tanpa sebuah organisasi yang memberikan pedoman, tenaga massa akan bubar bagaikan uap yang tak ditampung dalam kotak seher. Namun faktor penggerak bukanlah seher atau kotak, melainkan uap itu sendiri (Leon Trotsky).
Belajar dari pengalaman gerakan kaum miskin di beberapa negara, masalah terbesar dari gerakan semacam ini adalah pengorganisasian. Di Filipina, khususnya di kota Metro Manila, kaum miskin yang mendiami sejumlah slum diorganisasikan melalui komite-komite komunitas dan organisasi-organisasi komunitas. Organisasi terbesar kaum miskin kota adalah ZOTO, sebuah federasi rakyat miskin kota beranggotakan 182 komite komunitas yang tersebar di 18 titik di kota Metro Manila dan sekitarnya. Tuntutan utama mereka adalah perumahan dan lapangan pekerjaan. Sementara dalam melayani komunitas, aktivitas perjuangannya lebih beragam seperti pengadaan listrik, air bersih, unit usaha, dan bahan pangan.
Di Argentina, gerakan Piqutero justru terlahir dari respons spontan dan kemarahan rakyat akibat neoliberalisme. Mereka menggelar aksi blokade jalanan di sepanjang kota Buenos Aires. Gerakan Piqutero berhasil menumbangkan sejumlah presiden. Di Venezuela, meskipun perlawanan kaum miskin kota benar-benar spektakuler dan memimpin, pengaruh politik mereka baru benar-benar terasa setelah diorganisasikan dalam dewan-dewan komunal dan komite-komite komunitas. Secara teoretis, neoliberalisme bukan hanya menghancurkan kesejahteraan rakyat, melainkan juga menghancurkan syarat-syarat mereka untuk lebih produktif, termasuk mengatomisasikan mereka dalam grup dan individu yang berjuang untuk kepentingan sendiri-sendiri. Sehingga, untuk menghancurkan dampak neoliberal tersebut, metode pengorganisasian massa melalui partisipasi demokrasi menjadi senjata penting. Lihat pengalaman anggaran partisipatif di Porto Allegre ataupun demokrasi partisipatif yang diterapkan di Kerala, India. Masalah partisipasi ini, dalam sejumlah praktik, hendak menjadikan setiap orang atau massa sebagai protagonis (pelaku utama) dalam perubahan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara soal besar dan kecilnya keanggotaan organisasi atau partai, tetapi berbicara soal bagaimana menarik lebih banyak massa rakyat di belakang proposal dan pekerjaan politik kita. Tidak bisa lagi, dalam melakukan pengorganisasian, organisasi bersandar pada respons-respons kasuistik seperti penggusuran dan perda, tetapi organisasi harus tampil mampu mengurus rakyat.Pada lapangan politik, rakyat miskin sudah harus senantiasa ditarik untuk terlibat dalam proses-proses politik, seperti pengambilan kebijakan, mengikuti pemilihan, dan mengontrol pemerintahan sehingga mereka lebih matang dalam berpolitik. Kapitalis Nasional atau Elite Nasional
Karena isu anti-neoliberal dibesarkan sedikit banyak oleh tangan elite, maka sebagian orang pun menuduh isu ini tidak murni. Lantas siapa dan gerakan mana yang murni?. Kami tidak akan memasuki perdebatan soal anti-neoliberal yang murni dan tidak murni, tetapi mencoba melihat sikap kapitalis nasional yang anti-neolib dari perspektif kepentingan mereka.
Seperti diketahui, beberapa kapitalis nasional kelihatan begitu bersemangat dalam mendorong isu kemandirian nasional. Karena beberapa klausul proposal mereka berbau menuntut proteksionisme dan berorientasi pada ekonomi nasional yang kuat, maka sebetulnya ini berbau anti-neoliberal. Setelah ditelusuri, ternyata situasi yang mendorong pemunculan sikap itu adalah neoliberalisme, yang dalam beberapa tahun terakhir memicu kehancuran industri dalam negeri
.Dalam membicarakan kapitalis nasional yang anti-kapitalis, kami sama sekali tidak mengacu pada konsep borjuis nasional progresif atau kapitalis yang dapat menjalankan proyek pembangunan nasionalnya. Akan tetapi, kapitalis nasional yang kami maksud adalah sektor yang tidak dapat hidup (eksis) di bawah tekanan neolib tanpa memasukkan dirinya pada aliansi dengan sektor popular, sebuah proyek nasional yang membuat mereka survive, di mana negara memberikan bantuan kredit dan mengkondisikan pasar internal yang didorong oleh kebijakan sosial negara.Dalam hal ini, kami menelusuri pertentangan kapitalis nasional dan multinasional dalam pusaran sistem neoliberalisme. Apa yang menggerakkan aktivitas kapitalis adalah keinginan mendapatkan laba (profit).
Dalam kaitan ini, ekonom Anwar Shaikh mengatakan, dalam mengejar keuntungan (profit), individu atau perusahaan kapitalis harus menghadapi dua medan pertempuran. Pertama, di dalam proses produksi, mereka melawan kepentingan buruh upahannya. Kedua, di dalam proses sirkulasi, mereka menghadapi kompetitornya (kapitalis lain) dalam rangka merealisasikan keuntungan.Kita tidak membahas yang pertama. Sebab, menurut kami, hal tersebut sudah benar-benar dipahami banyak orang. Kita akan membahas yang kedua, medan pertukaran, di mana seorang individu kapitalis akan dipaksa untuk menggunakan segala macam cara untuk mengalahkan pesaing (kompetitor). Dalam menyingkirkan pesaing, para kapitalis akan menggunakan segala cara, mulai dari memasang iklan produk, perang tarif (harga), hingga penggunaan cara-cara sabotase.Dalam neoliberalisme, perdagangan bebas (free trade) dan pasar bebas (free trade) menjadi motor penggerak. Dalam pertarungan ini, bagaimanapun setiap kapitalis -- kecil, menengah, dan besar -- tidak memiliki kemampuan yang sama.
Demikian pula dengan kapitalis nasional dan multinasional, jelas memiliki kemampuan yang berbeda. Untuk menjelaskan hal ini, kita bisa mengacu pada beberapa hal sebagai penyebab.
Pertama, perkembangan kapitalisme yang tidak merata (underdevelopment capitalism). Dalam proses sejarah, masyarakat-masyarakat yang pada awalnya terpisah satu sama lain, yang berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda, ketika mulai saling berhubungan (sambil menampilkan cara-cara produksi yang berbeda) sama-sama saling mempengaruhi proses sejarah masing-masing, melalui perdagangan, perang, penyebaran teknologi, dan sebagainya. Proses interaksi itu yang membuat sejarah memiliki kompleksitas yang rumit. Dan, sekalipun Marx yakin bahwa kapitalisme saat itu sedang berusaha mengatasi perbedaan-perbedaan nasional, kapitalisme itu sendiri juga menimbulkan bentuk-bentuk baru perkembangan yang tidak merata (David Fernbach, Revolusi 1848 dan Perkembangan Pemikiran Marx).
Kedua, proses kolonialisme dan imperialisme yang berlangsung beratus-ratus tahun, bahkan hingga sekarang dalam bentuknya yang modern, benar-benar menghambat perkembangan negara jajahan dan semi-jajahan. Dengan tangan-tangan imperialisme yang menguasai sektor-sektor ekonomi yang penting (sumber daya, tenaga kerja, dan pasar), negara-negara jajahan dan dunia ketiga sulit berkembang atau bertransformasi menjadi sejajar dengan negara-negara kapitalis maju. Dan imperialisme, dalam segala hal, berusaha memelihara hubungan yang timpang ini.
Di Indonesia, dampak neoliberalisme bagi kapitalis nasional mungkin dapat dijelaskan pada gejala deindustrialisasi yang semakin meningkat. Dalam lima tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Gejala industrialisasi, menurut banyak ekonom dan kalangan pengusaha, disebabkan penerapan liberalisasi perdagangan dan investasi.
Di sini, kapitalis nasional yang menentang neoliberalisme merupakan kapitalis yang kepentingan bisnisnya, secara objektif, masuk dalam pertentangan dengan kepentingan kapitalis multinasional. Karena itu, bagi kapitalis seperti ini, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan kepentingan bisnisnya selain meminta perlindungan pada negara. Pada masa lalu, borjuasi nasional dapat tumbuh dengan memanfaatkan proteksionisme. Pada masa itu, proyek-proyek borjuasi nasional berjalan karena ditopang aliansi negara dengan kelas pekerja, petani, sektor-sektor sosial terhisap di negeri-negeri tertindas. Pada masa neoliberal, di mana peran negara sebagian besar dilucuti pada wilayah ekonomi, sehingga kapitalis nasional hampir tidak mempunyai tameng lagi untuk melindungi diri.Proposal ke DepanUntuk menarik kepentingan seluruh sektor yang bermacam-macam itu, kita dituntut untuk memformulasikan sebuah program atau platform yang konkret. Program konkret ini, selain dapat mengkonversikan seluruh sektor korban neoliberal yang bermacam-macam, juga harus mampu menjawab tuntutan mendesak seluruh rakyat sekarang ini: bahan kebutuhan pokok (pangan), perumahan, energi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.Selanjutnya, dalam kerangka itu, gerakan anti-neoliberal dituntut untuk menyodorkan sebuah proyek nasional yang merupakan alternatif terhadap kegagalan kapitalisme neoliberal.
Secara global, sejujurnya, beberapa kawasan memperlihatkan pembangunan ekonomi yang berada di luar kerangka neoliberalisme, khususnya Amerika Latin. Amerika Latin, misalnya, yang telah mengharu biru dalam membangun alternatif terhadap kapitalisme neoliberalisme, bisa dijadikan salah satu bahan pelajaran yang penting, tapi bukan ditiru mentah-mentah secara membabi buta.Hanya dengan revolusi sebuah bangsa atau masyarakat bisa keluar dari teka-teki sejarah dan jebakan kolonial. Demikian kata Chavez, kita harus berani mengatakan keterpurukan dan kemunduran bangsa ini terjadi karena rantai-rantai penjajahan masih berlangsung, dan tidak sepenuhnya diputuskan.Bagaimana kita, sebagai sebuah bangsa, dapat berbicara kemakmuran dan keadilan sosial, jika sumber daya alam, tenaga kerja, pasar, dan potensi nasional kita masih dicaplok dan dikuasai bangsa asing? “Jangankan masyarakat yang berkesejahteraan sosial, menyusun masyarakat normal saja tak mungkin, sebelum selesainya tugas nasional,” kata Bung Karno. Bahkan Soekarno mengutip Giuseppe Mazzini, salah satu tokoh pendiri Italia, “Menyusun tanah air ini, malahan satu keharusan. Anjuran-anjuran dan daya upaya-daya upaya yang kubicarakan, hanyalah dapat diselenggarakan oleh tanah air yang bersatu dan merdeka… Jangan mengira bahwa kamu dapat memperbaiki nasib hidupmu sebelum memecahkan soal nasional lebih dahulu. Ikhtiarmu sia-sia.”Karena itu, kami kembali menegaskan, kaum miskin harus berjuang sekeras-kerasnya bersama gerakan rakyat Indonesia lainnya, untuk mengakhiri sistem neoliberalisme atau penjajahan gaya baru, yaitu dengan merebut kembali kedaulatan bangsa kita. Kita sangat menyakini, ketika kedaulatan telah direbut, penindasan dan eksploitasi dari luar dapat diakhiri.
Strategi politik umum perjuangan rakyat miskin Indonesia adalah membangun front persatuan untuk menuntaskan perjuangan demokrasi-nasional. Front persatuan ini merangkul, setidak-tidaknya, seluruh tenaga nasional yang menentang penjajahan baru, meliputi buruh, petani, mahasiswa, partai politik prorakyat, akademisi progresif, perempuan, seniman, dan pengusaha nasional yang pro kepentingan nasional.
Sumber: marlo Sitompul www.prakarsa-rakyat.orgShare
Sekilas Neoliberalisme
Apa itu neoliberalisme? Menurut Alvaro Garcia Linera, aktivis yang kini menjadi Wakil Presiden Bolivia, ada empat pilar utama neoliberalisme, yaitu (1) fragmentasi sosial masyarakat/gerakan pekerja; (2) privatisasi aset publik, kolektif, atau komunitas; (3) pelemahan negara sebagai penyedia kesejahteraan; dan (4) pembatasan terhadap demokrasi dan partisipasi rakyat.
Di Indonesia, fragmentasi sosial terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan, menempatkan rakyat benar-benar terindividualisasi dan terpisah satu sama lain. Tidak ada lagi budaya kolektif, saling berbagi dan membantu dengan tetangga, gotong-royong, dan sebagainya. Akibatnya, kita menanggung beban hidup (ekonomi, sosial, dan lain-lain) sendirian, karena orang tidak lagi peduli terhadap penderitaan orang di sekelilingnya.Kedua, kebijakan privatisasi aset-aset publik, kolektif atau komunitas, yaitu pengambilalihan aset atau sumber daya milik rakyat oleh pihak swasta. Sebelum privatisasi diberlakukan, aset-aset dan sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti air, hutan, pendidikan, dan kesehatan, dikuasai oleh negara dan dikelola untuk kemakmuran rakyat. Karena dikelola oleh negara dan diperuntukkan rakyat, maka biaya pun sangat murah dan terjangkau. Misalnya, dulu biaya sekolah negeri lebih murah daripada sekolah swasta, rumah sakit umum lebih murah daripada rumah sakit swasta, dan air bersih lebih murah di PDAM ketimbang produk aqua dan sejenisnya.Sekarang semuanya itu sudah dikontrol dan dikuasai pihak swasta, dari pendidikan, kesehatan, pelayanan air bersih, dan sebagainya. Dan pada awal tahun 2010, pelayanan listrik pun akan diserahkan kepada pihak swasta. Akibat kebijakan ini adalah mahalnya biaya-biaya atau ongkos pelayanan publik.Ketiga, pelemahan negara sebagai penyedia kesejahteraan. Menurut penganut neoliberal, negara tidak boleh lagi campur tangan dalam persoalan ekonomi dan sosial, namun diserahkan kepada pihak swasta dan mekanisme pasar (baca: persaingan dan kompetisi). Akibatnya peran-peran negara yang baik untuk mengurusi dan menjamin kesejahteraan sosial, seperti subsidi, jaminan sosial, jaminan pekerjaan, dan penghidupan yang layak dihilangkan juga.Keempat, neoliberal juga sangat membatasi demokrasi dan partisipasi rakyat. Rakyat tidak boleh terlibat sama sekali dalam pengambilan keputusan. Semuanya diserahkan kepada pemerintah dan segelintir teknokrat (ahli dari universitas). Rakyat hanya boleh berpartisipasi dalam pemilu setiap lima tahun sekali. Setelah itu, semua pekerjaan pengambil keputusan diserahkan kepada pemerintah dan ahlinya. Akibatnya, banyak kebijakan politik yang sangat merugikan rakyat.
Kemiskinan Ekstrem
Kata ekstrem mengacu pada pengertian berlebih atau sangat parah. Artinya, kemiskinan ekstrem adalah tingkat kemiskinan yang sudah sangat parah dan kronis, atau biasa disebut kemiskinan absolut struktural, yaitu tidak terpenuhinya kebutuhan standar hidup minimum komunitas masyarakat. Pengertian kemiskinan mengacu kepada kondisi ketiadaan sarana atau material untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia, seperti makanan yang bernutrisi, pakaian, tempat bernaung (rumah), perawatan kesehatan, dan pendidikan.Di Indonesia, tingkat kemiskinan ekstrem sebetulnya sudah cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Meskipun tidak terdokumentasi dari data resmi, sebenarnya dapat dilihat secara kasatmata, seperti banyaknya tuna wisma, pengemis, dan gelandangan.
Berbicara soal kemiskinan di Indonesia, ada baiknya kita melirik tiga hal berikut. Pertama, kejatuhan daya beli yang begitu masif, khususnya bagi kalangan kelas menengah dan bawah. Hampir seluruh konsumsi rakyat Indonesia saat ini dibiayai melalui utang, mulai dari kredit konsumsi, program sosial neoliberal (BLT, KUR, BOS, PNPM, dan sebagainya) yang dibiayai dengan utang, program stimulus ekonomi yang juga dibiayai utang, hingga kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri yang juga dibiayai dengan utang.Kedua, munculnya kesenjangan pendapatan yang mencolok. Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Mudrajat Kuncoro, menyebutkan 40% penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin belum pernah menikmati kue hasil pembangunan ekonomi. Ada individu yang sangat kaya, sehingga 150 orang terkaya sekarang ini menguasai Rp 650 triliun rupiah, tetapi ada 40 juta lebih orang miskin, yang harus cukup dengan Rp 6 ribu per hari.Ketiga, lumpeng-isasi massa rakyat (penciptaan barisan penganggur), di mana sebagian besar masyarakat terdepak keluar dari pekerjaan tetap dalam sektor industri. Gejala ini ditandai oleh meningkatnya jumlah pengangguran dan perkembangan signifikan sektor informal. Sekarang ini, seperti yang diungkapkan OPSI, sektor informal sudah mencakup sekitar 70% dari angkatan kerja produktif. Terakhir, perlu ditegaskan bahwa kemiskinan bukanlah persoalan nasib atau takdir, melainkan berhubungan dengan persoalan struktural kekuasaan, sistem ekonomi, dan kebijakan politik.Kaum Pencari Kerja: Korban Neoliberalisme
Sejak neoliberalisme dipraktikkan, pertumbuhan sektor informal dan pengangguran (baca: pencari kerja) berlangsung cukup pesat. Sebagai ilustrasi, ekonom dari UGM Sri Adiningsih menjelaskan bahwa pada tahun 2007 pekerja di sektor informal mencapai 47,7 juta dari total 49,8 juta pekerja. International Labour Organization (ILO) memperkirakan pengangguran di Indonesia pada tahun 2009 dapat bertambah 170.000 hingga 650.000 orang atau naik sekitar 9%.
Pengangguran tidak hanya masalah politik, tetapi juga menggambarkan krisis inheren dalam sistim kapitalisme. Terkait persoalan politik, angka statistik pengangguran selalu dibuat mengacu pada angka prestisius yang menguntungkan pemerintah, karena jika tidak, situasi ini bisa menstimulus gejolak sosial yang serius. Di Indonesia, BPS mempunyai andil besar dalam memanipulasi angka statistik pengangguran. Jika menggunakan metode penghitungan BPS, seseorang yang bekerja satu jam dalam seminggu dikatakan sebagai pekerja. Jadi, misalnya, Pak Ogah yang dapat bekerja serabutan dalam seminggu juga disebut pekerja. Dengan penghitungan ini, BPS mengklaim angka pengangguran terbuka pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta atau 8,14% dari total angkatan kerja. Angka ini jelas manipulatif, selain karena metode penghitungan yang berbasis satu jam seminggu, juga disebabkan oleh waktu (timing) penghitungan dilakukan bertepatan dengan masa kampanye pemilu legislatif, sehingga dapat dipastikan pada saat itu hampir semua orang memiliki “pekerjaan”.Jadi, seberapa besar gambaran pengangguran yang sebenarnya? Untuk menjawab ini, mari memeriksa pekerja di sektor manufaktur.
Dalam lima tahun terakhir memang terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Akibatnya, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur terus meningkat dan terjadi penurunan jumlah pekerja formal di sektor industri. Inilah proses nyata yang mendorong lonjakan jumlah pengangguran. Jika kita meraba ke pembagian sektor formal dan informal, hanya sektor formal yang boleh dikatakan sebagai pekerja, yang jumlahnya 31% dari angkatan kerja. Penyebab pengangguran di negara kapitalis maju dan negara berkembang juga berbeda.
Di negeri kapitalis maju, penyebab utama unemployment adalah pengurangan jam kerja dan pengurangan jumlah pekerja, akibat mekanisasi dalam sistem produksi. Di negara berkembang, pendorong utama pengangguran adalah proses deindustrialisasi yang dipicu kebangkrutan industri nasional. Di bawah neoliberalisme, dengan istilah fleksibilitas, pasar tenaga kerja akan diatur selentur mungkin untuk menopang proses akumulasi keuntungan. Dan bersamaan dengan itu, tidak ada lagi pekerja tetap atau jaminan terhadap pekerjaan. Sejalan dengan itu, secara historis, menurut Mike Davis, gerakan kaum miskin di perkotaan mencerminkan perkembangan industri manufaktur dan peningkatan upah pekerja. Di sisi lain, terjadi peningkatan produksi dari sektor pertanian akibat penggunaan teknik modern dalam pertanian. Hal itu yang mendorong terjadinya urbanisasi, sebagai konsekuensi dari industrialisasi. Namun, saat ini, menurut Davis, peningkatan urbanisasi dan pengangguran dipicu oleh tekanan IMF dan Bank Dunia yang merestukturisasi ekonomi negara dunia ketiga, sehingga terjadi kehancuran pertanian, PHK besar-besaran, penutupan pabrik, dan kejatuhan upah.
Di Argentina, kelompok sosial yang tersingkir dari proses produksi, yakni kaum pekerja dan kaum tani, menjadi kekuatan sosial paling dinamis dalam menghadapi neoliberalisme. Kelompok-kelompok piqutero, gerakan pekerja yang kehilangan pekerjaannya, menjadi gerakan paling menentukan dalam menghadapi rezim neoliberal melalui aksi-aksi blokade jalanan dan jalan raya. Contoh lain adalah Gerakan Petani Tak Bertanah (MST) di Brasil. Dalam perjuangannya, MST berhasil memimpin kaum tani tak bertanah pada aksi-aksi pendudukan tanah-tanah luas milik para latifundis. Sebuah partai baru di Filipina, Power of the Masses Party (Partido Lakas ng Masa - PLM), juga memfokuskan pembangunan kekuatannya melalui pengorganisasian kaum miskin kota (urban poor). Kontinuitas Program Sogokan (BLT, PNPM, BOS, KUR)
Dalam beberapa tahun ke depan, pemerintahan neoliberal masih akan “mengandalkan” program-program seperti BLT, KUR, PNPM, dan BOS untuk mengangkat popularitasnya. Di samping itu, dalam pemilu legislatif lalu, program-program semacam ini berhasil mendorong orang miskin tetap memilih incumbent. Akan tetapi, perlu mengetahui apa esensi program-program seperti itu, karena selama ini kita hanya memahaminya sebagai program sogokan. Pertama, perlu diketahui bahwa program seperti BLT, BOS, KUR, dan PNPM didanai melalui pinjaman luar negeri, terutama Bank Dunia dan ADB. Program PNPM, misalnya, untuk tahun 2008 saja Bank Dunia menggelontorkan dana US$ 400 juta. Bank Dunia juga mendanai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai US$ 600 juta dan harus dibayar hingga tahun 2033. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. (1). Bantuan sosial seperti itu merupakan cabang baru bagi pengembangbiakan utang luar negeri, setelah memanfaatkan pembangunan infrastuktur. (2). Dalam skema pembayaran utang luar negeri, pendanaan bantuan sosial masuk dalam kategori utang luar negeri yang harus ditutupi. Jadi, penggelontoran dana untuk program seperti ini akan ditutupi dengan pemangkasan anggaran untuk publik di APBN.Program seperti BLT, BOS, KUR, dan PNPM berfungsi untuk mendorong konsumsi kalangan bawah yang nantinya dibayar oleh negara. Sebagai contoh, dana BLT Rp 100 ribu per bulan hanya cukup untuk konsumsi beberapa saat. Karena itu, pemerintahan neoliberal masih berkepentingan melanjutkan program-program seperti BLT, BOS, KUR, dan PNPM.
Merebaknya PenggusuranDalam beberapa bulan terakhir kita juga menyaksikan peningkatan intensitas penggusuran di beberapa kota utama di Indonesia, khususnya Jakarta, Bogor, Surabaya, Semarang, dan Makassar. Secara umum, target penggusuran paling banyak diarahkan pada permukiman warga dan pusat-pusat aktivitas ekonomi rakyat (pasar tradisional, lapak, dan sebagainya). Penggusuran pemukiman yang yang cukup besar adalah penggusuran warga Taman BMW Jakarta yang dihuni sekitar 1.000 keluarga dan penggusuran warga stren Kali Jagir Wonokromo Surabaya yang mencapai 335 keluarga. Penggusuran pusat ekonomi rakyat yang terbesar adalah penggusuran Pasar Koja di Jakarta, Pasar Bambu Kuning di Bandar Lampung, Pasar Barito di Jakarta, dan Pasar Terong di Makassar.Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan besar-besaran proyek infrastruktur seperti jalan raya, tol, dan pelabuhan. Ada korelasi antara peningkatan program proyek yang didanai Bank Dunia dengan peningkatan penggusuran. Seperti diketahui, Bank Dunia mempunyai program “city without slum”, permukiman-permukiman kumuh dihancurkan untuk memberi tempat bagi proyek-proyek mereka.
Hal itu juga terbaca dalam pertemuan ke-42 ADB di Bali, Mei 2010. Dalam dokumen mengenai rencana permukiman yang dirilis pada 14 Mei 2009, diidentifikasi adanya rencana penggusuran sejumlah rumah/permukiman yang dilalui proyek ADB. Dalam dokumen itu, ADB sama sekali tidak menyinggung soal relokasi dan pemberian ganti rugi kepada korban atau rumah tangga yang terkena proyek mereka.Selain itu, penggusuran juga dimotivasi oleh kebutuhan untuk meningkatkan pasar guna menampung output produksi kapitalis. Meskipun sektor informal menguntungkan dalam penyerapan tenaga kerja dan mendorong ekonomi rakyat, “kurang” menguntungkan bagi ekspansi pasar kapitalis. Merajalelanya pasar modern yang didominasi peritel asing seperti Carrefour, Giant, dan Hypermarket, membutuhkan penghancuran pasar-pasar tradisional. Hal seperti ini akan dipermudah dengan kebijakan “otonomi daerah” yang memberikan banyak kewenangan kepada pemerintah kota atau kabupaten.
Perlawanan Rakyat Miskin
Secara umum, perlawanan kaum miskin Indonesia masih mencirikan karakter kurang terorganisasikan dan spontan. Meskipun begitu, perlawanan rakyat miskin di perkotaan memperlihatkan peningkatan intensitas, terutama dalam menanggapi penggusuran, kebijakan pencabutan subsidi BBM, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan masalah kesejahteraan sosial lainnya.Perlu dicatat beberapa perlawanan kaum miskin Indonesia, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Berhadapan dengan penggusuran, pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan di berbagai kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar, dan Medan. Meskipun begitu, perlawanan-perlawanan ini sangat sedikit yang mendapat dukungan dari sektor sosial lainnya seperti pekerja, mahasiswa, dan petani, kecuali penggusuran PKL di Jalan Diponegoro, Jakarta. Di Surabaya dan Tangerang, meski penggusuran telah memakan korban, aksi solidaritas untuk mengutuk kejadian tersebut masih kecil.
Di luar perlawanan PKL, kaum miskin di permukiman kumuh juga memberikan perlawanan habis-habisan, terutama dalam penggusuran warga Taman BMW di Jakarta, penggusuran warga stren Kali Jagir di Surabaya, di Tangerang, Bogor, Bandung, dan beberapa tempat lainnya. Pesan yang tersampaikan dari perlawanan itu adalah negara melepas tanggung jawabnya dan kaum miskin dianggap warga negara tanpa pengakuan.Pada level perjuangan politik, kaum miskin di perkotaan juga merespons dengan cukup baik, di antaranya adalah demonstrasi penolakan kenaikan BBM oleh SRMI yang tergabung dalam Front Rakyat Menggugat (FRM) dan perlawanan kaum miskin kota yang di organisasi UPC untuk menolak kenaikan BBM di depan Istana Negara.
Pada isu politik lainnya, seperti pilkada, kaum miskin menjadi kekuatan sosial yang paling sering termobilisasi, terlepas itu digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Namun, hal itu menjelaskan, kaum miskin mulai ambil bagian dalam perjuangan politik.Dalam merespons Pemilu 2009, organisasi-organisasi rakyat miskin melakukan upaya berbeda-beda. SRMI, misalnya, merespons pemilu melalui kerja sama dengan PBR dengan mengajukan sejumlah kadernya sebagai caleg. Sementara UPC mencoba mengajukan proposal program dan MoU kepada caleg dari partai mana pun, dengan mengikat kesepakatan melalui kontrak politik.
Problem Perlawanan Kaum MiskinKendala terbesar kaum miskin di Indonesia adalah karakter sosialnya yang tercerai berai dan terperangkap pada kompetisi ekonomi yang ganas. Meskipun berkali-kali berhasil mengangkat perlawanan, begitu mudah pula dipatahkan oleh alat-alat kekerasan negara. Meskipun demikian, tanpa sebuah organisasi yang memberikan pedoman, tenaga massa akan bubar bagaikan uap yang tak ditampung dalam kotak seher. Namun faktor penggerak bukanlah seher atau kotak, melainkan uap itu sendiri (Leon Trotsky).
Belajar dari pengalaman gerakan kaum miskin di beberapa negara, masalah terbesar dari gerakan semacam ini adalah pengorganisasian. Di Filipina, khususnya di kota Metro Manila, kaum miskin yang mendiami sejumlah slum diorganisasikan melalui komite-komite komunitas dan organisasi-organisasi komunitas. Organisasi terbesar kaum miskin kota adalah ZOTO, sebuah federasi rakyat miskin kota beranggotakan 182 komite komunitas yang tersebar di 18 titik di kota Metro Manila dan sekitarnya. Tuntutan utama mereka adalah perumahan dan lapangan pekerjaan. Sementara dalam melayani komunitas, aktivitas perjuangannya lebih beragam seperti pengadaan listrik, air bersih, unit usaha, dan bahan pangan.
Di Argentina, gerakan Piqutero justru terlahir dari respons spontan dan kemarahan rakyat akibat neoliberalisme. Mereka menggelar aksi blokade jalanan di sepanjang kota Buenos Aires. Gerakan Piqutero berhasil menumbangkan sejumlah presiden. Di Venezuela, meskipun perlawanan kaum miskin kota benar-benar spektakuler dan memimpin, pengaruh politik mereka baru benar-benar terasa setelah diorganisasikan dalam dewan-dewan komunal dan komite-komite komunitas. Secara teoretis, neoliberalisme bukan hanya menghancurkan kesejahteraan rakyat, melainkan juga menghancurkan syarat-syarat mereka untuk lebih produktif, termasuk mengatomisasikan mereka dalam grup dan individu yang berjuang untuk kepentingan sendiri-sendiri. Sehingga, untuk menghancurkan dampak neoliberal tersebut, metode pengorganisasian massa melalui partisipasi demokrasi menjadi senjata penting. Lihat pengalaman anggaran partisipatif di Porto Allegre ataupun demokrasi partisipatif yang diterapkan di Kerala, India. Masalah partisipasi ini, dalam sejumlah praktik, hendak menjadikan setiap orang atau massa sebagai protagonis (pelaku utama) dalam perubahan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara soal besar dan kecilnya keanggotaan organisasi atau partai, tetapi berbicara soal bagaimana menarik lebih banyak massa rakyat di belakang proposal dan pekerjaan politik kita. Tidak bisa lagi, dalam melakukan pengorganisasian, organisasi bersandar pada respons-respons kasuistik seperti penggusuran dan perda, tetapi organisasi harus tampil mampu mengurus rakyat.Pada lapangan politik, rakyat miskin sudah harus senantiasa ditarik untuk terlibat dalam proses-proses politik, seperti pengambilan kebijakan, mengikuti pemilihan, dan mengontrol pemerintahan sehingga mereka lebih matang dalam berpolitik. Kapitalis Nasional atau Elite Nasional
Karena isu anti-neoliberal dibesarkan sedikit banyak oleh tangan elite, maka sebagian orang pun menuduh isu ini tidak murni. Lantas siapa dan gerakan mana yang murni?. Kami tidak akan memasuki perdebatan soal anti-neoliberal yang murni dan tidak murni, tetapi mencoba melihat sikap kapitalis nasional yang anti-neolib dari perspektif kepentingan mereka.
Seperti diketahui, beberapa kapitalis nasional kelihatan begitu bersemangat dalam mendorong isu kemandirian nasional. Karena beberapa klausul proposal mereka berbau menuntut proteksionisme dan berorientasi pada ekonomi nasional yang kuat, maka sebetulnya ini berbau anti-neoliberal. Setelah ditelusuri, ternyata situasi yang mendorong pemunculan sikap itu adalah neoliberalisme, yang dalam beberapa tahun terakhir memicu kehancuran industri dalam negeri
.Dalam membicarakan kapitalis nasional yang anti-kapitalis, kami sama sekali tidak mengacu pada konsep borjuis nasional progresif atau kapitalis yang dapat menjalankan proyek pembangunan nasionalnya. Akan tetapi, kapitalis nasional yang kami maksud adalah sektor yang tidak dapat hidup (eksis) di bawah tekanan neolib tanpa memasukkan dirinya pada aliansi dengan sektor popular, sebuah proyek nasional yang membuat mereka survive, di mana negara memberikan bantuan kredit dan mengkondisikan pasar internal yang didorong oleh kebijakan sosial negara.Dalam hal ini, kami menelusuri pertentangan kapitalis nasional dan multinasional dalam pusaran sistem neoliberalisme. Apa yang menggerakkan aktivitas kapitalis adalah keinginan mendapatkan laba (profit).
Dalam kaitan ini, ekonom Anwar Shaikh mengatakan, dalam mengejar keuntungan (profit), individu atau perusahaan kapitalis harus menghadapi dua medan pertempuran. Pertama, di dalam proses produksi, mereka melawan kepentingan buruh upahannya. Kedua, di dalam proses sirkulasi, mereka menghadapi kompetitornya (kapitalis lain) dalam rangka merealisasikan keuntungan.Kita tidak membahas yang pertama. Sebab, menurut kami, hal tersebut sudah benar-benar dipahami banyak orang. Kita akan membahas yang kedua, medan pertukaran, di mana seorang individu kapitalis akan dipaksa untuk menggunakan segala macam cara untuk mengalahkan pesaing (kompetitor). Dalam menyingkirkan pesaing, para kapitalis akan menggunakan segala cara, mulai dari memasang iklan produk, perang tarif (harga), hingga penggunaan cara-cara sabotase.Dalam neoliberalisme, perdagangan bebas (free trade) dan pasar bebas (free trade) menjadi motor penggerak. Dalam pertarungan ini, bagaimanapun setiap kapitalis -- kecil, menengah, dan besar -- tidak memiliki kemampuan yang sama.
Demikian pula dengan kapitalis nasional dan multinasional, jelas memiliki kemampuan yang berbeda. Untuk menjelaskan hal ini, kita bisa mengacu pada beberapa hal sebagai penyebab.
Pertama, perkembangan kapitalisme yang tidak merata (underdevelopment capitalism). Dalam proses sejarah, masyarakat-masyarakat yang pada awalnya terpisah satu sama lain, yang berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda, ketika mulai saling berhubungan (sambil menampilkan cara-cara produksi yang berbeda) sama-sama saling mempengaruhi proses sejarah masing-masing, melalui perdagangan, perang, penyebaran teknologi, dan sebagainya. Proses interaksi itu yang membuat sejarah memiliki kompleksitas yang rumit. Dan, sekalipun Marx yakin bahwa kapitalisme saat itu sedang berusaha mengatasi perbedaan-perbedaan nasional, kapitalisme itu sendiri juga menimbulkan bentuk-bentuk baru perkembangan yang tidak merata (David Fernbach, Revolusi 1848 dan Perkembangan Pemikiran Marx).
Kedua, proses kolonialisme dan imperialisme yang berlangsung beratus-ratus tahun, bahkan hingga sekarang dalam bentuknya yang modern, benar-benar menghambat perkembangan negara jajahan dan semi-jajahan. Dengan tangan-tangan imperialisme yang menguasai sektor-sektor ekonomi yang penting (sumber daya, tenaga kerja, dan pasar), negara-negara jajahan dan dunia ketiga sulit berkembang atau bertransformasi menjadi sejajar dengan negara-negara kapitalis maju. Dan imperialisme, dalam segala hal, berusaha memelihara hubungan yang timpang ini.
Di Indonesia, dampak neoliberalisme bagi kapitalis nasional mungkin dapat dijelaskan pada gejala deindustrialisasi yang semakin meningkat. Dalam lima tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Gejala industrialisasi, menurut banyak ekonom dan kalangan pengusaha, disebabkan penerapan liberalisasi perdagangan dan investasi.
Di sini, kapitalis nasional yang menentang neoliberalisme merupakan kapitalis yang kepentingan bisnisnya, secara objektif, masuk dalam pertentangan dengan kepentingan kapitalis multinasional. Karena itu, bagi kapitalis seperti ini, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan kepentingan bisnisnya selain meminta perlindungan pada negara. Pada masa lalu, borjuasi nasional dapat tumbuh dengan memanfaatkan proteksionisme. Pada masa itu, proyek-proyek borjuasi nasional berjalan karena ditopang aliansi negara dengan kelas pekerja, petani, sektor-sektor sosial terhisap di negeri-negeri tertindas. Pada masa neoliberal, di mana peran negara sebagian besar dilucuti pada wilayah ekonomi, sehingga kapitalis nasional hampir tidak mempunyai tameng lagi untuk melindungi diri.Proposal ke DepanUntuk menarik kepentingan seluruh sektor yang bermacam-macam itu, kita dituntut untuk memformulasikan sebuah program atau platform yang konkret. Program konkret ini, selain dapat mengkonversikan seluruh sektor korban neoliberal yang bermacam-macam, juga harus mampu menjawab tuntutan mendesak seluruh rakyat sekarang ini: bahan kebutuhan pokok (pangan), perumahan, energi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.Selanjutnya, dalam kerangka itu, gerakan anti-neoliberal dituntut untuk menyodorkan sebuah proyek nasional yang merupakan alternatif terhadap kegagalan kapitalisme neoliberal.
Secara global, sejujurnya, beberapa kawasan memperlihatkan pembangunan ekonomi yang berada di luar kerangka neoliberalisme, khususnya Amerika Latin. Amerika Latin, misalnya, yang telah mengharu biru dalam membangun alternatif terhadap kapitalisme neoliberalisme, bisa dijadikan salah satu bahan pelajaran yang penting, tapi bukan ditiru mentah-mentah secara membabi buta.Hanya dengan revolusi sebuah bangsa atau masyarakat bisa keluar dari teka-teki sejarah dan jebakan kolonial. Demikian kata Chavez, kita harus berani mengatakan keterpurukan dan kemunduran bangsa ini terjadi karena rantai-rantai penjajahan masih berlangsung, dan tidak sepenuhnya diputuskan.Bagaimana kita, sebagai sebuah bangsa, dapat berbicara kemakmuran dan keadilan sosial, jika sumber daya alam, tenaga kerja, pasar, dan potensi nasional kita masih dicaplok dan dikuasai bangsa asing? “Jangankan masyarakat yang berkesejahteraan sosial, menyusun masyarakat normal saja tak mungkin, sebelum selesainya tugas nasional,” kata Bung Karno. Bahkan Soekarno mengutip Giuseppe Mazzini, salah satu tokoh pendiri Italia, “Menyusun tanah air ini, malahan satu keharusan. Anjuran-anjuran dan daya upaya-daya upaya yang kubicarakan, hanyalah dapat diselenggarakan oleh tanah air yang bersatu dan merdeka… Jangan mengira bahwa kamu dapat memperbaiki nasib hidupmu sebelum memecahkan soal nasional lebih dahulu. Ikhtiarmu sia-sia.”Karena itu, kami kembali menegaskan, kaum miskin harus berjuang sekeras-kerasnya bersama gerakan rakyat Indonesia lainnya, untuk mengakhiri sistem neoliberalisme atau penjajahan gaya baru, yaitu dengan merebut kembali kedaulatan bangsa kita. Kita sangat menyakini, ketika kedaulatan telah direbut, penindasan dan eksploitasi dari luar dapat diakhiri.
Strategi politik umum perjuangan rakyat miskin Indonesia adalah membangun front persatuan untuk menuntaskan perjuangan demokrasi-nasional. Front persatuan ini merangkul, setidak-tidaknya, seluruh tenaga nasional yang menentang penjajahan baru, meliputi buruh, petani, mahasiswa, partai politik prorakyat, akademisi progresif, perempuan, seniman, dan pengusaha nasional yang pro kepentingan nasional.
Sumber: marlo Sitompul www.prakarsa-rakyat.orgShare
2
Untuk Teman-teman guru Bahasa Inggris yang membutuhkan LKS khususnya Pelajaran Bahasa Inggris, di sini saya siapkan kumpulan LKS Bahasa Inggris Kelas IX, mengapa kelas IX? karena saya pikir kelas IX adalah kelas yang paling rentan, artinya kelas ini membutuhkan perhatian lebih dari kita, bukan berarti kelas lain tidak butuh, tapi ini mengingat kebutuhan kelas IX sangat mendesak menjelang Ujian Nasional.
Silahkan Anda Koleksi Kumpulan LKS ini, semoga bermanfaat.
Share
KUMPULAN LKS BAHASA INGGRIS SMP
q Asking for and giving certainty (Meminta dan memberi kepastian)
Asking for Certainty (Meminta kepastian) | Giving Certainty (Memberikan kepastian) |
Are you certain? Are you sure? Is that so? Is it confirmed? Do you?/ Will you?/ Can you? What if….? Will it be O.K. if…? How about this/that one? How about these/those ones? | I’m quite sure. I’ve no doubt about…. You bet!/Of course./Sure./Absolutely! I’m positive./It’s possible. That sounds good/perfect. O.K./No problem. Fine. Go ahead. I’m definitely sure./I’m absolutely certain. Sure, I’m certain. No doubt about it./Without doubt. |
Here are some expressions you can use to ask for and give certainty;
When you are sure on something, you can use the following expressions:
J I’m very sure…. - I believe so
J I’m positive…. - It is right
J It is definite…..
When you are not sure, you can use following expression:
- I am not sure. - It is not define
- I can’t say for certain - It is not right
- It is not positive - I don’t think so
- I doubt it.
Langganan:
Postingan (Atom)