Disini dulu ayahku menuntunku
melewati pematang-pematang yang indah
sambil sesekali bercerita tentang indahnya tanah ini
Disini dulu ayahku memberikan seekor anak burung,
pelihara dan jangan sakiti dia, kata ayah.
Disini, dulu kami memancing ikan bersama
di tengan hamparan padi yang menguning
dan ayahku bercerita tentang ia yang memancing di tempat ini juga bersama kakek.
Disini, dulu ayah membelai kepalaku, diantara butir padi yang menjanjikan kehidupan
cintai tanah ini seperti kau mencintai nafasmu, ucap ayah
Dan kini, semua telah lenyap
tanahku yang subur telah berganti hamparan gedung
sarang burung itu telah berganti mercusuar yang berdiri kokoh
di atas kepalaku tak lagi melayang burung pipitku yang cantik
telingaku pekak oleh raungan burung-burung raksasa dari baja
nafasku sesak oleh asap dari mesin hasil kejeniusanmu
Maafkan aku ayah, teriak dan air mataku tak mampu menyelamatkan tanah ini
burung-burung itu terlalu kuat untuk kuhalau
dan buldozer-buldozer angkuh itu telah meratakan semuanya.
Sejengkal saja, Tuan.
sisakan untuk kuburanku dan anak-anakku.
sebelum kau merampas semuanya dari kami
hanya sejengkal, untuk kukuburkan jasad keluargaku
selebihnya, ambil dan makanlah semuanya, tanahnya, cacingnya, dan harapan kami yang sirna
biarlah luka kami terkubur di tanah ini
sebab rintihan pilu dari anakku yang kelaparan hanyalah nyanyian pengantar lelapmu
simpan teriakmu, Anakku.
tak ada gunanya berteriak dan menjerit
semua itu hanya akan jadi catatan-catatan lusuh
yang akan memenuhi bak sampah di istana mereka yang megah
yang dibangun di atas darah dan keringat kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar:
Posting Komentar